Jilid 1
Bab 1: Kedatangan Para Pejuang
Chapter I:
Kembali Ke Kampung Halaman
“Mereka yang senang menjaga
alam, maka alam juga senang menjaga dengan mereka”
Hembusan
angin yang sejuk membelai helai rambut hitam kebiruan itu, kicauan
burung-burung yang bernyanyi serasa mengiringi perjalanannya. Gerakan kuda itu
perlahan melambat, sedang sang penunggang masih terpejam.
“Cuaca ini sangat bersahabat.”
Beberapa
patah kata keluar dari mulutnya, perlahan mata itu pun terbuka. Menampakkan
sepasang permata berwarna biru jernih. Senyuman menghias wajah pemuda tampan
itu. Dia menunduk lalu setengah berbisik pada kuda kesayangan yang berwarna
hitam bersurai emas.
“Kita hampir sampai, sabarlah.”
Sembari mengelus tengkuk hewan berkaki empat tersebut.
Sepanjang
perjalanan, kiri-kanan jalan yang dia lalui hanyalah berupa hutan dan terkadang
sebuah penginapan. Di punggung tegaknya bersandar sebuah pedang, gagang dan
sarungnya dipenuhi berbagai corak indah. Sarung berkilauan yang terdiri dari
bermacam-macam potongan kristal, indah dan menawan, tapi juga mematikan.
Sambil
bergerak dengan santai menikmati cuaca yang dia sebut bersahabat tersebut, dia
tak lupa untuk selalu waspada. Ini adalah kepulangannya, setelah sekian lama
berkeliling dunia untuk menambah pengetahuan dan kekuatan. Dia tak lupa tentang
daerah yang sedang dilalui olehnya ini, banyak musuh dan monster berkeliaran. Namun,
sampai saat ini, tiada seorang musuh atau bahkan seekor monster pun yang
menyerang. Auranya terlalu hebat, kekuatan yang tersembunyi di balik senyum itu
sangat menakutkan.
“Kita telah sampai, Edelweizz.
Kotaku dahulu, Petalia.”
Kuda
itu mengangguk ketika namanya disebut oleh sang majikan. Dihadapan mereka kini
terlihat pemandangan orang yang berlalu-lalang, gerbang besar menuju kota
dihias dengan indah. Campuran permata dari Calestina dan Diaspora, memikat tamu
kota yang akan memasuki kawasan tersebut.
Edelweizz
dan sang majikan mulai berjalan memasuki daerah tersebut. Jalan yang dibuat
dari batu marmer khusus memberi rasa nyaman tersendiri saat dipijak, paduan
warna hitam dan putih menjadi begitu sempurna di seluruh bagian kota. Banyak
pedagang-pedagang yang sedang berjualan berbagai kebutuhan, dari peralatan
pertahanan, penyerangan, hingga sampai sandang-pangan.
Suasana
ramai dan kekeluargaan sangat terasa di kota ini. Semua orang saling berbincang
seolah mereka adalah keluarga. Pemuda dan kudanya itu kini sudah berada di
depan sebuah rumah makan, tidak mewah, tapi yang menarik minat mereka adalah
pendar cahaya di setiap dinding rumah makan tersebut. Garnet, Calestina,
Diaspora, Aquamarine, cahaya yang dihasilkan setiap kristal berpendar menjadi
satu-kesatuan yang indah.
“Apa anda ada perlu, Tuan?”
Seorang
penjaga rumah makan menghampirinya. Ketika penjaga tersebut sedang melihat ke
arah luar restoran, dia melihat seorang pemuda yang sedang terperangah menatap
ke arah restoran. Rasa was-was timbul di hatinya, sebuah pertanyaan tak
terjawab sedang bergelut. Siapa mereka? Tapi, dia memberanikan diri untuk
mendatangi orang tersebut. Mungkin pelanggan atau pengemis, batinnya.
“Ah ..., Aku hanya sedang kagum
melihat dinding rumah makan ini. Begitu indah, pikirku,” Pemuda itu menerangkan
maksudnya pada penjaga rumah makan, “Euclase, itu namaku. Jangan panggil tuan,
aku kurang suka,” sambungnya.
“Ya, baiklah, Tu- ..., ehm,
baiklah, Euclase. Apakah anda ingin mampir ke sini sebentar?” ucapnya sembari
membungkukkan badan, menunjukkan rasa hormat pada pelanggan yang sedang berada
di depannya sekarang. “Sebenarnya, kami sedang mengadakan promo dan potongan
harga pada menu-menu tertentu. Jika anda tidak ke- ...,” terang penjaga
tersebut, tapi ketika dia kembali menegakkan badan, sosok Euclase sudah
menghilang.
“Oy... Paman! Ke sini sebentar,
aku kurang tahu menu makanan mana yang diberi potongan harga,” sosok Euclase
kembali hadir pada pandangan sang penjaga rumah makan, tetapi bukan di
depannya, hanya saja kali ini Euclase sudah berada di rumah makan sedang duduk
santai.
Begitulah
hal pertama yang dilakukan oleh Euclase di kota Petalia, membuat penjaga rumah
makan kewalahan dan menghabiskan beberapa mangkok sup daging. Kini dia sedang
berada di bawah rindang pohon apel, pinggir jalan menuju tempat yang ingin
ditujunya. Sepanjang jalan dari tempat dia beristirahat, kembali hanya terlihat
pepohonan di pinggir jalan. Euclase merasa berada di kota berbeda, tetapi
itulah kenyataannya sekarang, mereka masih berada di kota Petalia, atau lebih
tepatnya, Pusat kota Petalia.
Petalia
adalah kota yang tengahnya merupakan wilayah hutan, sedang wilayah lainnya
adalah bangunan-bangunan seperti Euclase lewati. Di tengah hutan, terdapat
sebuah akademi yang begitu luas. Hutan yang sengaja dibangun adalah untuk
membuat para monster tinggal di sekitar akademi, sehingga para guru dapat
menjadikan mereka sebagai samsak latihan murid-murid akademi tanpa perlu pergi
ke luar kota Petalia. Hutan ini juga dikelilingi oleh Dinding yang menjulang
tinggi, menghalau para monster untuk mengacau di area kota, sedangkan jalan
untuk masuk hanya ada satu, yaitu dari gerbang selatan, jalan yang sedang
Euclase lalui.
Kuda
milik Euclase ribut tanpa ada sebab, tapi Euclase menyadari bahwa ada monster
di sekitar mereka. Namun, dia masih tetap santai dan kembali rebahan setelah
menenangkan Edelweizz. Pohon apel yang sedang membuatnya berteduh, seketika
lenyap tak bersisa. Namun sekali lagi, Euclase masih terlihat santai menghadapi
ancaman para monster tersebut.
“Orckah? Sambutan yang meriah,”
ujarnya sambil berdiri dan membersihkan debu yang menempel di setiap inci
pakaian.
Di
hadapan Euclase sudah berdiri banyak Orc. Orc berkepala besar dan berwarna
hijau itu menyerang Euclase, mengayunkan kapak yang berada di tangan mereka. Di
belakang para Orc berdiri seorang perempuan yang terlihat seperti manusia, seorang
Elf. Dengan pakaian berwarna merah dan lingakaran sihir berwarna merah
mengelilingi seorang Elf tersebut.
Euclase
yang sedang diserang dari berbagai arah, menghindari serangan membabi buta para
Orc dengan gerakan seminimal mungkin. Dia baru saja sampai, tapi sudah disambut
dengan acara bakar-membakar. Dia hanya sedikit melirik Elf berpakaian serba
merah itu dengan tatapan membunuh, tetapi seketika itu juga lingkaran sihir
yang mengelilingi Elf tersebut pecah seperti kaca. Seakan menyadari teman
mereka yang tiba-tiba terkulai lemas ketakutan, para Orc itu pun langsung
menghampiri Elf tersebut, seolah mereka mempunyai perasaan dan hati. Faktanya,
mereka memang memiliki hati dan hanya peduli pada sesama.
“Serang kembali!”
Teriakan
semangat dan perintah dari salah satu Orc memberikan tambahan tenaga untuk anak
buahnya, sekali lagi mereka menyerang Euclase dengan membabi buta. Entah kawan
atau pun lawan, kapak tajam itu terus membelah apa saja tanpa ampun.
Euclase
masih terlihat santai menanggapi serangan demi serangan yang diarahkan padanya,
dia bahkan menguap di dalam pertarungan ini. Setiap serangan dari para Orc
hanya dihindarinya sebatas satu milimeter. Dia masih belum menyerang, tetapi
sudah banyak Orc yang berguguran terkena kapak milik teman mereka sendiri.
Sekitar dua
puluhan yang tersisa, tapi semuanya seakan nampak kelelahan setelah menyerang
membabi buta. Saat itulah aura membunuh dirasakan oleh para Orc, dengan
perlahan mereka menatap orang yang tadinya mereka serang. Mereka melihat,
seringaian yang sudah bukan lagi milik manusia, tapi lebih mirip kepada iblis.
Kaki mereka bergetar layaknya mengahadapi sang Dewa Kematian, bahkan untuk
menggerakkan jemari pun mereka tak sanggup. Saat itulah sang Dewa Kematian
bersuara.
“Hm... kalian terlalu berani
menyerangku. Aku lupa bahwa sedang menyembunyikan aura pada saat di kota tadi
dan sekarang, sepertinya kesenangan serta acara penyambutan masih belum
berakhir.”
Euclase
menarik pedang yang berada di punggungnya dengan tangan kanan. Pendar cahaya
emas menyilaukan setiap pasang mata para Orc. Perlu beberapa detik mereka untuk
mengembalikan penglihatan seperti semula, di hadapan mereka, sosok pedang pun
terlihat. Motif indah menghias bilah panjangnya, sedang gagang pedang tersebut
ditempelkan permata-permata indah.
“Sebaiknya, kalian minta dipotong
seperti apa?”
Setelah
kembali berbicara, Aura ungu keluar mengalir dari tubuh tersebut. Dia hanya
memasang posisi santai, menarikan pedang di tangan dengan lincah. Perlahan,
sunggingan senyum terlihat di wajah tampannya, menikmati apa yang akan terjadi
nanti.
“Eh?”
Elf
yang sedari tadi terkulai lemas, kini ikut menengok ke arah depan di mana
Euclase berada. Dia tidak melihat keberadaan Euclase di sana, hanya teman-teman
Orcnya yang sedang terduduk tak berdaya dengan gemetar. Dan dalam sekejap, dia
melihat tubuhnya sendiri tanpa kepala, lalu semua penglihatannya menjadi gelap.
Siapa
pun yang melihat kejadian itu, akan berlari ketakutan. Di hadapan para Orc,
teman mereka sang Elf, tiba-tiba terpotong di daerah leher dan menjadi dua
bagian, kepala dan badan. Mereka ingin berlari, tetapi ketakutan sudah membuat
tenaga terkuras habis. Daerah yang mereka duduki, seakan sedang bertambah
tingkat kekuatan gravitasinya.
Permohonan
demi permohonan dikeluarkan olah para Orc, tetapi itu seakan tidak berarti lagi
di hadapan Euclase. Dia hanya tetap menyeringai, tersenyum menikmati
pembantaian monster di hadapannya.
Menarilah ....
Rantailah Dosa
Bakarlah Menjadi Abu
Binasakan!
Lenyap!
“Seni berpedang, Tarian Malaikat
Neraka!”
Kepala
demi kepala berterbangan, lalu terbakar. Tebasan milik Dewa Kematian memang tak
pernah kenal ampun. Orc yang tersisa hanya bisa pasrah memejamkan mata, hingga
mereka merasa melayang dan kepanasan. Seni berpedang tingkat sedang milik
Euclase, sudah menghabisi setiap Orc dalam hitungan detik.
Di
sisi lain, tepatnya Akademi Crystal, berdiri seorang pemuda menghadap jendela
yang besar. Jendela itu langsung menghadap jalur menuju akademi sendiri. Sunggingan
senyum tak bisa disembunyikannya, perasaan bahagia seolah menyeruak dari lubuh
hati yang terdalam.
“Pak, aura tadi?”
Seorang
perempuan bertanya padanya, syal berwarna hijau menutupi leher mulus itu.
Kacamata hitam dengan les putih menghias wajah manis perempuan tersebut,
auranya sangat nyaman, kontras dengan keanggunannya.
“Bukan apa-apa, seseorang yang
kutunggu sudah datang,” perlahan pemuda itu membalikkan badannya menghadap
perempuan tadi, tersenyum dengan mata berkaca-kaca, “akhirnya dia kembali,”
gumamnya pelan tanpa terdengar perempuan yang kini menatapnya bingung.
Kembali
ke tempat Euclase berada, dia kini sedang bersandar pada pohon apel untuk menikmati
angin sejuk yang membelai lembut beberapa helai rambutnya. Aura ungu yang tadi
keluar dari tubuhnya sudah menghilang, berganti menjadi aura biru yang indah.
Pedang miliknya juga sudah tersarung dan tergantung dengan rapi di punggung
tegak itu. Beberapa puluh meter dari tempatnya, tersusun dengan rapi mayat
seorang Elf dan para Orc yang dibunuh oleh teman mereka sendiri.
“Cih, cari gara-gara saja. Siapa
yang tidak marah kalau ketenangannya diganggu. Benarkan, Edelweizz?”
Memandang
kuda kesayangan yang sedang tidur di sisi tubuhnya, lalu mengelus surai emas
kudanya dengan lembut. Kuda yang selalu menemani ke mana pun ia pergi, bagaikan
setengah jiwanya yang hidup.
Di
pinggiran kota Petalia, seseorang dengan jubah sambil menunggangi kuda tengah
berjalan. Seseorang dengan tujuan yang sama, yaitu Academy Crystal.
“Mari ramaikan pesta penyambutan!”
Next Chapter: On-Progress
Writted by: RPTAMenu: The Chosen
Label:Action,Arcade,Fantasy,Romance,The Chosen
Langganan:
Posting Komentar
(Atom)
Mengenai Saya
Translate
About Me
Welcome to my Blog!
I'm Rapta. You can read my handwriting in here. Happy Reading!
Contact Me
Email me at Rahmanthevil@gmail.com
Search
Populer
-
Jilid 1 Bab 1: Kedatangan Para Pejuang Chapter II: Eva Chrome Diopside Setelah beberapa lama Euclase berjalan, akhi...
Blogroll
Copyright
© 2016 by Rapta.
Designed by Rapta. Created for Literature, Story, Novel, and Light Novel.
0 komentar:
Posting Komentar